Pembunuhan
Berantai ala Ryan Jombang
JOMBANG beberapa hari terakhir jadi buah bibir. Bukan lagi karena Gus
Dur, Cak Nun atau Asmuni, tokoh-tokoh nasional asal kota di Jawa Timur itu,
tetapi karena Ryan, seorang muda psikopat yang telah sukses menghabisi nyawa
setidaknya 11 manusia – itulah jumlah korban yang sementara ini telah
terungkap.
Pasti tidak gampang menjadi pembunuh. Perlu keberanian (atau
kenekatan) dan mental yang kuat, terutama apabila hal itu dilakukan dengan
berencana, di bawah kesadaran alam pikiran, dan berkali-kali pula. Manusia
seperti apakah yang begitu kuat hatinya, menanggung semua mimpi buruk setelah
mengantarkan kematian manusia lain dengan cara paksa?
Hasil pemeriksaan
kejiwaan menyimpulkan tidak ada tanda-tanda gangguan jiwa berat pada Ryan. Dia
tidak gila, masih waras dan paham betul semua perbuatannya. Ryan hanya patut
disebut psikopat, berkepribadian sangat sensitif, mudah tersinggung, impulsif
dan agresif. Itu yang dalam teori psikiatri membuat anak muda ini mudah menyerang
bila marah dan tersinggung. Kecuali itu, entah ada hubungannya atau tidak
dengan prilaku kejamnya, Ryan diketahui memiliki gangguan orientasi sesksual,
yakni homoseksual, dan biasa berperan sebagai wanita dalam berhubungan dengan
sesama jenisnya.
Dalam hal “kualitas†kriminalnya, dapat dilihat semakin hari tingkat keseriusan
perbuatan jahat Ryan semakin “majuâ€. Dari semula membunuh karena terpaksa, lalu membunuh dengan
rencana karena motif uang, kemudian membunuh oleh sebab sakit hati, lantas
membunuh dengan sangat keji: mutilasi, memotong-motong tubuh korban menjadi
beberapa bagian. Entah apa jadinya bila perbuatan menyimpang ini lebih
lambat diketahui. Halaman rumah Ryan di Jombang bakal benar-benar jadi kuburan.
Wajahnya kalem, mungkin senada dengan pembawaannya yang rada
kemayu. Ryan sungguh tak tampak seperti seorang pembunuh. Dalam rekaman di
televisi, melihat gayanya berjalan dan menggerakkan badan, anak muda ini malah
jauh dari kesan penjahat. Tak sebanding dengan cap jagal yang sekarang
dilekatkan kepadanya.
Saya masih sulit membayangkan suasana hati seseorang yang telah
membunuh orang lain. Para eksekutor terpidana mati saja dibekali senjata yang
dia tak pernah tahu, apakah senjata yang dipegangnya berisi peluru sungguhan
atau hampa, demi membebaskan sang eksekutor dari perasaan bersalah telah
membunuh – meski itu dilakukan atas nama hukum.
Tentara-tentara yang pulang dari medan perang sering mengalami
trauma panjang, belum tentu oleh perbuatannya sendiri membunuh musuh, lebih
sering justru karena melihat rekannya yang kejam.
Suatu hari, dalam sebuah tidur yang nyenyak karena seharian
lelah bekerja, saya bermimpi terlibat dalam perkelahian seru. Seru sekali.
Hingga, singkat cerita, lawan saya dalam mimpi itu, yang saya sendiri tak pernah
tahu siapa dia dan apakah dia ada dalam kehidupan nyata, mati terbunuh. Di
tengah malam yang sepi, saya terjaga, dengan nafas tersengal kelelahan, seperti
perkelahian itu baru saja terjadi dan benar-benar terjadi. Berhari-hari saya
dihantui trauma oleh mimpi itu. Membayangkan tangan berlumuran darah dan
tatapan mata begitu sakit dari orang yang meregang nyawa. Padahal, cuma mimpi.
Dalam kehidupan nyata saya punya beberapa pengalaman terkait
pembunuhan, terutama dalam hubungannya dengan pekerjaan saya sebagai jurnalis.
Ngepos di kamar mayat rumah sakit dan setiap hari menyaksikan jenazah datang
dan pergi yang sebagiannya mati karena dibunuh, terjun langsung ke medan
perkelahian geng antarkampung, menyaksikan duel dua sepupu karena sengketa
tanah, atau mewawancara pelaku-pelaku pembunuhan yang terduduk layu di balik
jeruji penjara kantor polisi.
Saya juga relatif gemar membaca novel-novel berlatar kisah
pembunuhan, dengan setting cerita yang rumit dan menegangkan, penuh skenario
busuk yang entahlah bagaimana penulisnya bisa berimajinasi seliar itu, atau
menonton film-film drama peristiwa yang mengisahkan misteri kematian, yang
sepanjang cerita membuat jantung berdebar-debar, penuh kejutan dan
ketakterdugaan.
Semua pengalaman itu ternyata masih saja belum cukup membuat
hati saya kuat membaca drama pembunuhan berantai ala Ryan Jombang, yang
mengubur sebagian korbannya menjadi satu bertumpuk-tumpuk di sebelah septic
tank, mengubur sebagian yang lain di sisi kiri dan kanan rumah orangtuanya, dan
diduga masih ada beberapa korban lagi yang belum ditemukan. Betapa kuat dan
rumitnya kejiwaan anak muda itu bila benar dialah pelaku tunggal, eksekutor
penjemput ajal perebut urusan malaikat maut.
Melihat caranya membunuh dan perkakas yang dipakai: martil, bola
beton, tongkat besi, juga kayu balok yang dipukulkan ke kepala belakang
korbannya, kekejaman Ryan sungguh tak bisa dibilang sembarangan. Di kalangan
sesama pembunuh kelasnya mungkin sudah advance killer, pembunuh tingkat atas
yang di lingkungan penjara pun akan ditakuti – ini bila dia mujur tak segera
dihukum mati. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar