Selasa, 07 Februari 2012

Pengantar Ekonomi - Makro Ekonomi


Nama          : Abdi Nazarudin
Kelas           : SI 11 A
NIM            : 11.12.2058

Tugas Pengantar Ekonomi
Ekonomi Makro

A.  Perkembangan Sejarah Macro economic
Mengacupada peran pemerintah dalammengendalikan inflasi dan pengangguran.
Penggunaan pendekatan Keynes dalamkebijakan untuk mengendalikanperekonomian pada tahun 60anmenimbulkan kekecewaan di tahun 70anawal 80an.
Stagflasi(Stagflation):
Kondisi yangterjadi jika tingkat harga umum naik padaperiode perekonomian yang sedang resesidan tingkat pengangguran yang tinggi dan berkepanjangan(stagnation).
Tiga isu utama yang dibahas di dalamMakroekonomi :
1.      Inflasi
2.      Pertumbuhan ekonomi (output)
3.      Tingkat pengangguran
4.       
Ø  Teori Pembangunan
Membangun masyarakat yang adil dan makmur suatu cita-cita yang luhur, tetapi juga suatu tantangan yang berat. Memang. Indonesia mempunyai jumlah penduduk yang besar dan sumber alam yang memadai, tetapi itu saja belum cukup. Untuk membangun bangsa dan negara yang sebesar ini perlu tindakan yang terarah dan terencana. Maka. kita harus berpikir: Bagaimana cara atau strategi membangun? Apa yang perlu dibangun? Mana yang hams didahulukan? Hambatan apa yang perlu diatasi? Dari manakah kita mencari dana yang diperlukan.
Ø  Perkembangan Pemikiran Ekonomi Pembangunan
Dalam hal pemikiran tentang pembangunan ekonomi telah terjadi suatu perkembangan yang pastas kita perhatikan. Sejak Adam Smith menulis bukunya yang terkenal: An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776) para ahli ekonomi tidak banyak mempersoalkan masalah pembangunan ekonomi. Kemajuan atau pertumbuhan ekonomi dianggap sudah semestinya terjadi. Masalah pembangunan ekonomi baru aktual lagi sesudah Perang Dunia II, ketika banyak negara bekas jajahan mencapai kemerdekaannya dan bertekad untuk segera mengejar keterbelakangannya dan mengatasi masalah kemiskinan, ketergantungan, dan ketertinggalannya.
Sayang dalam ilmu ekonomi yang berlaku pada waktu itu belum banyak terdapat petunjuk atau teori tentang bagaimana caranya membangun suatu negara yang belum Rostov (The Stages of Economic Growth, 1959). Menurut teori ini, dalam proses menjadi negara maju setiap masyarakat harus melalui lima tahap perkembangan, yaitu: dari masyarakat “statis tradisional” — melalui tahap “prasyarat” — baru bisa “lepas landas” (take off) — untuk selanjutnya berkembang atas kekuatan sendiri — sampai akhirnya mencapai tahap “masyarakat adil makmur”.
Prasyarat-prasyarat yang perlu diusahakan atau dilengkapi sebelurn suatu negara dapat “lepas landas”, antara lain:
a)      Perubahan ekonomi:
Kenaikan produktivitas di sektor pertanian dan perkembangan di sektor pertambangan, dengan modernisasi dan penerapan teknologi maju.
- kenaikan daya hell masyarakat sehingga mampu membeli hasil-hasil industri (lugs pasar).
— perluasan prasarana produksi dan sosial di luar sektor industri, seperti perhubungan, perbankan, pendidikan, dan kesehatan.
b)      Perubahan sikap mental masyarakat:
Sikap yang dihutuhkan untuk pembangunan, antara lain:
Berorientasi pada masa depan; kemampuan untuk bekerja sama secara disiplin dan bertanggung jawab; bersikap rasional: efisiensi, menghargai waktu dan kekayaan inateriil.
c)      Peningkatan kemampuan warga masyarakat untuk menyerap ilmu pengetahuan dan teknologi.
d)     Kepemimpinan nasional yang berorientasi pada pembangunan.
e)      Munculnya usahawan-usahawan sejati, hukan yang karbitan.
f)       Keseimbangan Neraca Pembayaran perlu dijaga untuk memperkecil ketergantungan dari modal luar negeri.
Meskipun penahapan Rostow ini banyak dikritik oleh para ahli ekonomi dan sejarah, namun sebagai pola pembangunan ekonomi nasional mengandung beberapa pengertian yang penting, antara lain bahwa pembangunan harus diartikan sebagai suatu usaha terencana di berbagai sektor secara simultan dan terpadu untuk mempersiapkan tahap “lepas landas”, dengan menciptakan pranata dan lembaga sosial sebagai prasyarat yang mendorong perubahan sosial dan budaya.
Ø  Teori Perubahan Struktural
Teori yang lebih langsung menanggapi masalah span style=”text-decoration: underline;”>pembangunan ekonomi negara-negara berkembang berpangkal dari pengertian perubahan struktural. Teori perubahan struktural memusatkan perhatiannya pada mekanisme atau cara bagaimana negara “terbelakang” dapat mentransformasikan struktur perekonomiannya dari pertanian tradisional untuk mencukupi kebutuhan sendiri menjadi perekonomian yang lebih modern. Tokoh teori ini adalah W.Arthur Lewis (model dua sektor) yang dikeinbangkan lebih lanjut oleh John Fei dan Gustav Ranis.
Ø  Model W. Arthur Lewis
Dalam model Lewis perekonomian yang terbelakang terdiri dari dua sektor. yaitu sektor tradisional di pedesaan dan sektor industri modern perkotaan yang lebih produktif dan dapat sedikit demi sedikit menampung kelebihan tenaga kerja dari sektor pertanian.
Perhatian utama model ini adalah pada terjadinya proses pengalihan tenaga kerja dari desa ke kota serta pertumbuhan produksi dan kesempatan kerja di sektor modern. Perkembangan sektor modem ditentukan oleh tingkat investasi di hidang industri, sedangkan tingkat upah di perkotaan cukup lebih tinggi untuk menarik tenaga kerja dan desa ke kota tetapi tidak naik dengan terlalu cepat. Yang disyaratkan agar proses ini berjalan dengan balk ialah hahwa keuntungan yang diperoleh di sektor modern ditanam kembali dalam sektor modern (dan tidak dilarikan ke bank di luar negeri), dan dieunakan untuk perluasan usaha (hukan untuk membeli barang modal yang lebih canggih yang justru menghemat tenaga kerja). Juga diandaikan bahwa tenaga kerja yang tidak terampil yang mengalir dari desa ke kota semuanya bisa ditampung di sektor modern. Jelaslah kiranya bahwa syarat-syarat dan anggapan-anggapan ini kenyataannya sulit terpenuhi.
Ø  Perubahan Struktural dan Pola Pertumbuhan
Sementara itu, pars ahli ekonometri berhasil mengembangkan metode-metode penelitian empiris dengan indikator-indikator yang secara kuantitati dapat menelusuri proses perubahan struktural yang telah terjadi di berbagai negara berkembang. Atas dasar penetitian yang luas dalam sejumlah besar negara berkembang dalam kurun waktu 195°— 1973. Chenery dan Syrquin (1975) merumuskan sejumlah ciri-ciri yang bersama-sama menunjukkan pola dasar proses perkembangan ekonomi (Patterns of Development), meskipun ada perbedaan-perbedaan antara negara yang satu dengan yang lain karena perbedaan situasi, sumber daya, kebijakan pemerintah, dan sebagainya. Pola perubahan yang terjadi bila pendapatan per kapita suatu negara berkembang mulai naik, antara lain:
a)      Transformasi struktur produksi: terjadi pergeseran dari produksi harang pertanian ke produksi barang
industri: peranan industri (sebagai % GNP) meningkat dan peranan pertanian menurun.
b)      Tingkat tabungan dan akumulasi modal, balk modal fisik maupun modal manusia (pendidikan) semakin meningkat.
c)      Terjadi perubahan dalam komposisi permintaan dalam negeri: pengeluaran rnasyarakat untuk pangan
relatif menunin. pengeluaran untuk konsumsi bukan pangan naik, pengeluaran untuk imestasi dan untuk sektor pemerintah meningkat. Biasanya balk impor maupun ekspor naik dan komposisi ekspor berubah dari bahan-hahan mentah menjadi lebih banyak barang industri.
d)     Penggunaan faktor produksi terjadi pergeseran tenaga kerja dart sektor pertanian ke sektor industri
dan jasa, sedangkan produktivitas di sektor pertanian juga meningkat.
e)      Perubahan sosial: terjadinya urbanisasi, tingkat kelahiran dan tingkat kematian menurun, sekaligus distribusi pendapatan makin timpang (perbedaan kaya-miskin semakin menyolok).
Dalam model ini selain peranan tabungan dan investasi ditunjuk pula adanya setumpuk faktor lain yang (harus) ikut berubah agar perekonomian dapat berkembang dari sistem ekonomi tradisional menjadi sistem modern. Chenery juga menunjuk pada kendala-kendala dari dalam negeri seperti keterbatasan sumber daya, jumlah dan pertainbahan penduduk, rintangan kelembagaan, kebijakan dan cara kerja pemerintah. Juga kendala yang berasal dari dunia internasional seperti kesulitan (atau kemudahan) mendapatkan modal dari luar negeri, peralihan teknologi (canggih tapi padat modal padahal yang dibutuhkan teknologi madya yang padat karya), dan sebagainya.
B.  PERMASALAHAN EKONOMI MAKRO

A.    Masalah Kemiskinan dan Pemerataan
Pada akhir tahun 1996 jumlah penduduk miskin Indonesia sebesar 22,5 juta jiwa atau sekitar 11,4% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Namun, sebagai akibat dari krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak pertengahan tahun 1997, jumlah penduduk miskin pada akhir tahun itu melonjak menjadi sebesar 47 juta jiwa atau sekitar 23,5% dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia. Pada akhir tahun 2000, jumlah penduduk miskin turun sedikit menjadi sebesar 37,3 juta jiwa atau sekitar 19% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia.
Dari segi distribusi pendapatan nasional, penduduk Indonesia berada dalam kemiskinan. Sebagian besar kekayaan banyak dimiliki kelompok berpenghasilan besar atau kelompok kaya Indonesia.
B.     Krisis Nilai Tukar
Krisis mata uang yang telah mengguncang Negara-negara Asia pada awal tahun 1997, akhirnya menerpa perekonomian Indonesia. Nilai tukar rupiah yang semula dikaitkan dengan dolar AS secara tetap mulai diguncang spekulan yang menyebabkan keguncangan pada perekonomian yang juga sangat tergantung pada pinjaman luar negeri sector swasta. Pemerintah menghadapi krisis nilai tukar ini dengan melakukan intervensi di pasar untuk menyelamatkan cadangan devisayang semakin menyusut. Pemerintah menerapkan kebijakan nilai tukar yang mengambang bebas sebagai pengganti kebijakan nilai tukar yang mengambang terkendali.
C.     Masalah Utang Luar Negeri
Kebijakan nilai tukar yang mengambang terkendali pada saat sebelum krisis ternyata menyimpan kekhawatiran. Depresiasi penurunan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama dolar ASyang relative tetap dari tahun ke tahun menyebabkan sebagian besar utang luar negeri tidak dilindungi dengan fasilitas lindung nilai (hedging) sehingga pada saat krisis nilai tukar terjadi dalam sekejap nilai utang tersebut membengkak. Pada tahun1997, besarnya utang luar negeri tercatat 63% dari PDB dan pada tahun 1998 melambung menjadi 152% dari PDB.
Untuk mengatasi ini, pemerintah melakukan penjadwalan ulang utang luar negeri dengan pihak peminjam. Pemerintah juga menggandeng lembaga-lembaga keuangan internasional untuk membantu menyelesaikan masalah ini.
D.    Masalah Perbankan dan Kredit Macet
Besarnya utang luar negeri mengakibatkan permasalahan selanjutnya pada system perbankan. Banyak usaha yang macet karena meningkatnya beban utang mengakibatkan semakin banyaknya kredit yang macet sehingga beberapa bank mengalami kesulitan likuiditas. Kesulitan likuiditas makin parah ketika sebagian masyarakat kehilangan kepercayaannya terhadap sejumlah bank sehingga terjadi penarikan dana oleh masyarakat secarabesar-besaran (rush).
Goncangan yang terjadi pada system perbankan menimbulkan goncangan yang lebih besar pada system perbankan secara keseluruhan, sehingga perekonomian juga akan terseret ke jurang kehancuran. Alasan-alasan di atas menyebabkan pemerintah memutuskan untuk menyelamatkan bank-bankyang mengalami masalah likuiditas tersebut dengan memberikan bantuan likuiditas. Namun untuk mengendalikan laju inflasi, bank sentral harus menarik kembali uang tersebut melalui operasi pasar terbuka. Hal ini dilakukan dengan meningkatnya suku bunga SBI. Kebijakan ini kemudian menimbulkan dilema karena peningkatan suku bunga menyebabkan beban bagi para peminjam (debitor). Akibatnya tingkat kredit macet di system perbankan meningkat dengan pesat. Dilema semakin kompleks di saat system perbankan mencoba mempertahankan likuiditasyang mereka miliki dengan meningkatkan suku bungan simpanan melebihi suku bunga pinjaman sehingga mereka mengalami kerugian yang berakibat pengikisan modal yang mereka miliki.
E.     Masalah Inflasi
Masalah inflasi yang terjadi di Indonesia tidak terlepas kaitannya dengan masalah krisis nilai tukar rupiah dan krisis perbankan yang selama ini terjadi. Pada tahun 2004 tingkat inflasi Indonesia pernah mencapai angka 10,5%. Ini terjadi karena harga barang-barang terus naik sebagai akibat dari dorongan permintaan yang tinggi. Tingginya laju inflasi tersebut jelas melebihi sasaran inflasi BI sehingga BI perlu melakukan pengetatan di bidang moneter. Pengetatan moneter tidak dapat dilakukan secara drastic dan berlebihan karena akan mengancam kelangsungan proses penyehatan perbankan dan program restrukturisasi perusahaan.
F.      Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran
Menurunnya kualitas pertumbuhan ekonomi tahun 2005-2006 tercermin dari anjloknya daya serap pertumbuhan ekonomi terhadap angkatan kerja. Bila di masa lalu setiap 1% pertumbuhan ekonomi mampu menciptakan lapangan kerja hingga 240 ribu maka pada 2005-2006 setiap pertumbuhan ekonomi hanya mampu menghasilkan 40-50 ribu lapangan kerja. Berkurangnya daya serap lapangan kerja berarti meningkatnya penduduk miskin dan tingkat pengangguran. Untuk menekan angka pengangguran dan kemiskinan, pemerintah perlu menyelamatkan industry-industri padat karya dan perbaikan irigasi bagi pertan
C.  Kebijakan-keijakan Ekonomi Makro
Permasalahan perekonomian suatu negara sangat beraneka ragam diantaranya laju inflasi, pengangguran, pertumbuhan  ekonomi , dll. Untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah dapat melakukan kebijakan ekonomi, sebagai berikut:
1.      Kebijakan Fiskal
Kebijakan ekonomi seperti kebijakan fiskal pada prinsipnya merupakan kebijakan yang mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran negara. Sumber-sumber penerimaan negara antara lain dari pajak, penerimaan bukan pajak serta bantuan/pinjaman dari luar negeri. Selain itu, pengeluaran dibagi menjadi dua kelompok besar yakni pengeluaran yang bersifat rutin seperti membayar gaji pegawai, belanja barang serta pengeluaran yang bersifat pembangunan. Dengan demikian, kebijakan fiskal merupakan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan terbatas pada sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran negara yang tercantum dalam APBN.
2.      Kebijakan Moneter
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bab 1 Pasal 10 yang dimaksud dengan kebijakan ekonomi seperti Kebijakan Moneter adalah kebijakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang dilakukan antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan atau suku bunga.
Beberapa kebijakan fiskal dan moneter yang diambil pemerintah pada saat krisis untuk merespons anjloknya nilai rupiah adalah sebagai berikut (Marie M, 2004, hal. 111).
a)      Kontraksi rupiah secara besar-besaran melalui kebijakan fiskal (APBN) dengan cara menekan pengeluaran dan menunda pembayaran-pembayaran yang tidak mendesak.
b)      Bank Indonesia meningkatkan suku bunga, sehingga suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia) mencapai 70% dengan maksud membatasi ekspansi kredit perbankan dan menarik uang yang beredar dari sistim perbankan yang dikonversikan ke dalam SBI pada Bank Indonesia.
c)      Bank Indonesia melakukan intervensi pasar dengan menjual dollar pada saat diperlukan jika rupiah menunjukkan tanda-tanda yang benar-benar mengkhawatirkan.
d)     Pembatalan dan penundaan berbagai mega proyek pemerintah guna memperketat pengeluaran melalui APBN serta mengurangi laju impor barang agar cadangan devisa tidak semakin terkuras. Demikian pula pihak swasta dihimbau untuk menunda berbagai proyek yang bernilai besar agar impor dapat dikurangi guna menolong cadangan devisa nasional.
Ø  Masalah Ekonomi Bank
Bank merupakan perusahaan perantara, yang menjual jasa kredit dengan harga bunga. Bank mendapat penghasilannya dari selisih antara bunga kredit yang merupakan penerimaannya, dan bunga deposito yang harus dibayarnya atas simpanan/deposito, yang merupakan biaya dana bank. Selisih antara bunga kredit dan bunga deposito disebut “spread”. Dari selisih itu bank harus membayar biaya operasinya (gaji pegawai, biaya administrasi, membayar pajak, dan sebagainya).
Bila suku bunga deposito yang ditawarkan bank itu tinggi, masyarakat akan terdorong untuk mendepositokan uangnya pada bank sehingga dana yang terhimpun di bank banyak. Akan tetapi, suku bunga deposito yang tinggi juga membuat kredit mahal untuk perusahaan yang mau pinjam uang dari bank. Sebaliknya jika bunga deposito rendah, suku bunga kredit juga bisa rendah, dan masyarakat akan terdorong untuk lebih banyak pinjam uang dari bank. Akan tetapi justru lebih sulit bagi bank untuk menghimpun dana/tabungan dari masyarakat.
Karena uang yang ada pada bank sebagian terbesar milik orang lain yang hanya dititipkan padanya, maka bank harus sungguh hati-hati dalam menjalankan keuangannya. Kebijaksanaan masalah ekonomi bank terletak dalam menjaga keseimbangan yang tepat antara dua hal: di satu pihak keinginan untuk memperoleh keuntungan dengan jalan meminjamkan uang kepada orang lain (atau menanamkannya dalam surat-surat berharga) dengan memperoleh bunga. Ini segi rentabilitas. Di lain pihak adanya tuntutan likuiditas dan solvabilitas bank karena uang itu pada suatu saat akan (dapat) diminta kembali oleh pemiliknya. Banyak pokok masalah ekonomi yang dihadapi oleh bank sebagai “perusahaan”.
Pokok masalah ekonomi bank dapat juga di lihat dari neraca bank, yaitu dari perbandingan antara jumlah dana yang dititipkan pada bank (Pasiva/kewajiban) dan jumlah pinjaman/kredit yang diberikan oleh bank (Aktiva). Demikian pula perbandingan antara pendapatan (dari bunga kredit) dan biaya dana (dalam bentuk bunga deposito) pada rekening rugi/laba.
Perhatikan secara khusus dua ukuran masalah ekonomi bank yang dewasa ini selalu ditekankan:
       I.            CAR (Capital Adequacy Ratio) = perbandingan antara modal dan aset tertimbang menurut tingkat risiko. Bank wajib menyediakan modal 1% dari aktiva produktifnya; ditambah 3% dari aktiva produktif yang kurang lancar; 50% dari aktiva yang diragukan; dan 100% dari aktiva yang macet. Jumlah modalnya minimal harus mencapai 8% dari jumlah assetnya yang dinilai berisiko. Misalnya aset yang berisiko sebesar Rp 100 milyar, modal minimal yang dibutuhkan adalah Rp8 milyar.
    II.            LDR (Loan to Deposit Ratio) = perbandingan antara dana yang dikumpulkan bank dan masyarakat dengan total kredit yang dikucurkan. B1 memberikan penilaian “positif’ bila LDR berada di bawah 85%; “netral” jika LDR berada antara 85% hingga 110%; dan “negatif’ jika angka LDR itu di atas 110%.